sehatalami.co.id – Aktivitas belanja memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, belanja yang berlebihan sering kali menjadi kebiasaan yang tidak disadari dan berdampak negatif bagi kondisi finansial maupun psikologis seseorang. Fenomena ini semakin marak, terutama di era digital yang memanjakan konsumen dengan kemudahan akses dan promosi menarik. Dua penyebab utama dari kebiasaan ini adalah pelarian dari tekanan emosional serta pengaruh kuat media sosial.
Emosi yang Tidak Terkelola Jadi Pemicu
Banyak orang menggunakan belanja sebagai cara untuk menenangkan diri saat sedang mengalami tekanan emosional. Saat merasa sedih, kesepian, stres, atau cemas, sebagian orang memilih membeli barang sebagai bentuk pelarian sementara. Perasaan senang yang muncul setelah membeli sesuatu menjadi semacam “hadiah” yang membantu meredakan emosi negatif, meskipun hanya sesaat.
Fenomena ini dikenal sebagai emotional spending. Contoh sederhananya, seseorang yang habis bertengkar dengan pasangannya lalu membeli baju atau barang mewah untuk “menghibur” diri. Sayangnya, kebiasaan ini bisa berubah menjadi pola yang merusak jika terus dibiarkan. Ketika efek bahagia itu hilang, rasa bersalah dan penyesalan pun datang.
Jika tidak dikendalikan, belanja berbasis emosi ini bisa menyebabkan seseorang terjebak dalam lingkaran konsumsi impulsif yang berujung pada masalah keuangan serius.
Pengaruh Media Sosial dan Budaya Konsumtif
Selain faktor emosional, penyebab lainnya berasal dari lingkungan sosial, terutama media sosial. Saat ini, platform seperti Instagram dan TikTok sering menampilkan gaya hidup konsumtif yang tampak ideal—berlibur ke tempat mahal, mengenakan produk bermerek, atau mencoba tren terbaru. Paparan ini menciptakan tekanan sosial tak kasat mata.
Kita jadi merasa harus mengikuti gaya hidup tersebut agar tidak terlihat “ketinggalan zaman.” Apalagi dengan hadirnya layanan seperti cicilan, paylater, hingga diskon besar-besaran, orang semakin terdorong untuk membeli meski belum mampu secara finansial. Inilah yang disebut sebagai social comparison, yakni membandingkan diri dengan orang lain dan ingin meniru pencapaian mereka, walau dengan cara yang tidak sehat.
Dampak Buruk Belanja Berlebihan
Kebiasaan berbelanja tanpa kendali memiliki berbagai dampak negatif, baik jangka pendek maupun panjang. Di antaranya:
- Kondisi keuangan jadi kacau karena tidak ada perencanaan
- Timbul rasa bersalah, stres, dan cemas setelah belanja
- Hubungan sosial terganggu karena konflik akibat utang atau pengeluaran
- Gagal mencapai tujuan finansial jangka panjang
- Potensi mengalami gangguan psikologis seperti compulsive buying disorder
Jika seseorang sampai pada tahap tidak bisa berhenti berbelanja meski menyadari dampaknya, ini bisa menjadi pertanda adanya masalah kesehatan mental yang lebih serius.
Cara Mengatasi Kebiasaan Boros Saat Belanja
Agar tidak terjebak dalam perilaku konsumtif, berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Sadari pemicu emosional belanja. Catat kapan kamu paling sering tergoda berbelanja dan apa yang kamu rasakan saat itu.
- Buat daftar belanja sebelum membeli. Ini membantu kamu tetap fokus pada kebutuhan, bukan keinginan.
- Gunakan aturan “tunda 24 jam.” Beri waktu sehari sebelum membeli sesuatu yang tidak mendesak.
- Kurangi waktu di media sosial. Hindari akun-akun yang mendorong gaya hidup konsumtif atau berlebihan.
- Tetapkan batas anggaran belanja bulanan. Evaluasi secara rutin agar keuangan tetap terkontrol.
Kesimpulan
Belanja berlebihan bukan hanya soal gaya hidup, melainkan refleksi dari kondisi emosi dan tekanan sosial yang dialami seseorang. Dua faktor utama seperti pelarian dari emosi negatif dan pengaruh media sosial sangat berperan dalam membentuk kebiasaan ini. Untuk itu, penting bagi kita mengenali penyebabnya dan mulai membangun kesadaran agar bisa mengendalikan kebiasaan konsumtif. Dengan begitu, keuangan tetap sehat dan pikiran pun lebih tenang.